Senin, 26 September 2011

Iman menurut Aliran-aliran Kalam


Penulis: Syamsi

BAB I
PENDAHULUAN
Di agama Islam ada terdapat yang namanya rukun iman. Pengertian iman adalah tashdiq ( membenarkan, meyakini). Adapun aliran-aliran kalam mendefinisikan iman berbeda-beda, ada yang mendefinisikan iman dengan tashdiq secara qalbu (hati) saja, ada yang tidak cukup dengan hati dan lisan saja, tetapi juga disertai dengan amal ibadat, dan sebagainya.
Adapun aliran-aliran kalam itu adalah: Khawarij, Mu’tazilah, Murji’ah, Asy’ariyah, dan Maturidiah. Untuk lebih jelasnya akan dipaparkan di dalam makalah ini.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Iman[1]
Iman artinya percaya, rukun iman itu ada enam, yaitu percaya kepada Allah, kepada malaikat-malaikat-Nya, kepada kitab-kitab-Nya kepada rasul-rasul-Nya, kepada hari kiamat/akhir dan percaya kepada qada dan qadar Allah.
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw yang artinya:
“ Dalam Al-Qur’an, iman itu selalu dikaitkan dengan amal perbuatan baik sebagai syarat bahwa iman yang disempurnakan dengan amal baik berupa pelaksanaan rukun-rukun Islam di akhirat-Nya”.
Di antaranya dalam Al-Qur’an Allah berfirman sebagai berikut
Artinya:Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal, Mereka kekal di dalamnya, mereka tidak ingin berpindah dari padanya”.

B.     Konsep Iman[2]
Dalam pembahasan ilmu kalam/ilmu tauhid, konsep iman terbagi menjadi 3 golongan, yaitu:
1.      Iman adalah tasdiq di dalam hati ada akan wujud Allah dan keberadaan nabi atau rasul Allah. Menurut konsep iman, iman dan kufur semata-mata adalah urusan hati, bukan terlihat dari luar. Jika seseorang telah tasdiq (membenarkan/menyakini) akan adanya Allah, maka ia sudah disebut telah beriman, sekalipun perbuatannya belum sesuai dengan tuntutan ajaran agamanya. Konsep iman ini banyak dianut oleh mahzab Murji’ah, sebagai penganut Jamahiyah dan sebagian kecil Asy’ariyah.

2.      Iman adalah tasdiq di dalam hati dan diikrarkan dengan lidah. Dengan demikian, seseorang dapat digolongkan beriman apabila ia mempunyai dalam hatinya akan keberadaan Allah dan mengikrarkan (mengucapkan) kepercayaan itu dengan lidah. Antara keimanan dan amal perbuatan manusia tidak terdapat hubungan, yang terpenting dalam iman adalah tasdiq dan ikrar. Konsep keimanan seperti ini telah dianut oleh sebagian pengikut Mahmudiyah.

3.      Iman adalah tasdiq di dalam hati, ikrar dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan. Antara iman dan perbuatan manusia terdapat perbuatan keterkaitan karena keimanan seseorang ditentukan pula oleh amal perbuatannya. Konsep keimanan semacam ini dianut oleh Mu’tazilah, Khawarij, dan lain-lain.

C.     Iman menurut Aliran-aliran Kalam
Aliran-aliran kalam itu ada 5 golongan[3]:
1.      Khawarij;
2.      Mu’tazilah;
3.      Murji’ah;
4.      Asy’ariyah; dan
5.      Maturidiah.

Adapun pendapat aliran-aliran kalam tentang iman sebagai berikut:

1.      Iman menurut Aliran Khawarij
Kaum Khawarij berpendapat bahwa yang dikatakan iman itu bukan pengakuan dalam hati dan ucapan lisan saja, tetapi amal ibadah menjadi rukun iman saja.
Menurut Khawarij, orang-orang yang mengerjakan shalat, puasa, zakat dan lain-lain maka orang itu kafir.
Tegasnya sekalian yang berbuat dosa baik besar maupun kecil, maka orang itu kafir, wajib diperangi dan boleh dibunuh, boleh dirampas hartanya.
Al-Muhakkimah, salah satu golongan khawarij asli yang pertama memunculkan paham kafir pada setiap orang yang berbuat dosa besar dan akan kekal di neraka[4].
Golongan Khawarij yang lebih ekstem ialah Al-Azariqah. Golongan ini menganggap syirik atau polythisme orang yang melakukan dosa besar. Di dalam ajaran Islam dosa syirik atau polythisme lebih besar dari dosa kafir. Mereka juga berpendapat setiap orang yang tidak sepaham dengan mereka adalah musyrik yang boleh dibunuh.
Berbeda dengan golongan Al-Azariqah, Al-Najdat bersikap lebih lunak. Menurut golongan ini orang yang berdosa besar menjadi kafir dan kekal dalam neraka hanyalah orang Islam yang tidak sepaham dengan golongannya.
Golongan Khawarij lainnya ialah Al-Ajariyah, golongan ini lebih lunak lagi dari Al-Najdat. Menurut golongan ini orang Islam yang berbeda wilayah kekuasaan mereka bukan musyrik tetapi tetap mukmin. Paham lain yang mereka kemukakan ialah anak kecil tidak menjadi musyrik karena orang tuanya. Oleh karena itu mereka tidak boleh dibunuh.
Al-Sufriah berpendapat, tidak semua yang berdosa besar menjadi kafir. Pelaku dosa besar yang menjadi kafir ialah yang melakukan dosa yang diancam dengan sangsi akhirat seperti meninggalkan sembahyang dan puasa. Orang yang berbuat dosa besar yang ada sangsinya di dunia seperti berzina dan membunuh tidak menjadi kafir.
Golongan terakhir dari Khawarij adalah Al-Ibadah. Mereka mempunyai paham, orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka kafir bukan musayrik dan boleh mengawani mereka. Orang yang berbuat dosa besar dipandang kafir hikmah bukan kafir millah. Kelihatan golongan Al-Ibadah ini termasuk yang paling moderat di antaranya golongan-golongan Khawarij lainnya.

2.      Iman menurut Aliran Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa orang mukmin yang mengerjakan dosa besar dan mati sebelum tobat, tidak lagi mukmin dan tidak pula kufur, tetapi dihukumi sebagai orang fasik.
Di akhirat ia dimasukkan ke neraka untuk selama-lamanya, tetapi agak dingin tidak seperti nerakanya orang kafir. Dan tidak pula berhak masuk surga. Jelasnya menurut kaum Mu’tazilah, orang mukmin yang berbuat dosa besar mati sebelum tobat, maka menempati tempat di antara dua tempat, yakni antara neraka dan surga[5].
Iman bagi mereka digambarkan, bukan hanya oleh pengakuan dan ucapan lisan, tetapi juga oleh perbuatan-perbuatan. Dengan demikian pembuat dosa besar tidak beriman, oleh karena itu tidak dapat masuk surga. Tempat satu-satunya ialah neraka. Tetapi tidak adil kalau ia di dalam neraka mendapat siksaan yang sama berat dengan orang kafir. Oleh karena itu pembuat dosa besar, betul masuk neraka, tetapi mendapat siksa yang lebih ringan. Inilah menurut Mu’tazilah, posisi menengah antara mukmin dan kafir, dan itulah pola keadilan[6].


3.      Iman menurut Aliran Murji’ah
Di antara kalangan Murji’ah yang berpendapat senada adalah subsekte Al-Jahmiyah, As-Salihiyah dan Al-Yunusiyah. Mereka berpendapat bahwa iman adalah tashdiq secara kalbu saja, atau ma’rifah (mengetahui) Allah dengan kalbu, bukan dengan demonstrasi baik dalam ucapan maupun tindakan. Oleh karena itu, jika dengan seseorang telah beriman dalam hatinya, ia telah dipandang sebagai seorang mukmin meskipun penampakan tingkah laku seperti Yahudi dan Nasrani. Hal ini disebabkan oleh keyakinan Murji’ah bahwa iqrar dan amal bukanlah dari bagian iman[7].
Kredo kelompok Murji’ah ekstrem yang terkenal adalah perbuatan tidak dapat menggugurkan keimanan, sebagaimana ketaatan pun tidak dapat membawa kekufuran. Dapat disimpulkan bahwa kelompok ini memandang bahwa pelaku dosa besar tidak di siksa di nereka.
Sementara yang dimaksud Murji’ah moderat ialah mereka yang berpendapat pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal di dalamnya, tergantung pada dosa yang dilakukannya. Kendatipun demikian, masih terbuka kemungkinan bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya sehingga bebas dari siksa neraka. Ciri khas mereka lainnya adalah dimasukkannya iqrar sebagai bagian penting dari iman, disamping  tashdiq (ma’rifah).

4.      Iman menurut Aliran Asy’ariyah
Agak pelik untuk memahami makna iman yang diberikan oleh Abu Hasan Al-Asy’ari, sebab di dalam karya-karyanya seperti Muqalat, Al-Ibanah dan Al-Luma, ia mendefinisikan iman secara berbeda-beda. Dalam Muqalat dan Ibanah disebutkan bahwa iman adalah qawl dan amal dan dapat bertambah serta berkurang. Dalam Al-Luma iman diartikannya sebagai tasdiq bi Allah. Argumentasinya, bahwa kita mukmin seperti surat Yusuf 7 memiliki hubungan makna dengan kata sadiqin dalam ayat itu juga. Dengan demikian, menurut Al-Asy’ari, iman adalah tashdiq bi al-qalb (membenarkan dengan hati).

5.      Iman menurut Aliran Maturidiyah
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tasdiq bi al qalb, bukan semata-mata bi al –lisan. Pengertian ini dikemukakan oleh Al-Maturidi sebagai bantahan terhadap Al-Karamiyah, salah satu sub-sekte Murji’ah. Ia berargumentasi dengan ayat Al-Qur’an surat Al-Hujarat 14.
Ayat tersebut dipahami Al-Maturidi sebagai suatu penegasan bahwa keimanan itu tidak cukup hanya dengan perkataan semata, tanpa diimani dengan pula oleh kalbu. Apa yang diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan lidah. Al-Maturidi tidak berhenti sampai disitu. Menurutnya, tashdiq, seperti yang dipahami di atas harus diperoleh dari ma’rifah. Tashdiq hasil dari ma’rifah ini didapatkan melalui penalaran akal, bukan sekedar berdasarkan wahyu.
Lebih lanjut, Al-Maturidi mendasari pandangannya pada dalil naqli surat Al-Baqarah ayat 20
Dan (Ingatlah) ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati." Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu ?" Ibrahim menjawab: "Aku Telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, Kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera." dan Ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Pada surat Al-Baqarah tersebut dijelaskan bahwa nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang yang sudah mati. Permintaan Ibrahim tersebut, lanjut Al-Maturidi, tidaklah berarti bahwa Ibrahim belum beriman. Akan tetapi, Ibrahim agar iman yang telah dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil ma’rifat.
Jadi, menurut Al-Maturidi, iman adalah tashdiq yang berdasarkan ma’rifah. Meskipun demikian, ma’rifah menurutnya bukan esensi iman, melainkan faktor penyebab kehadiran iman. Adapun pengertian iman menurut Maturidiyah Bukhara, seperti yang dijelaskan oleh Al-Bazdawi, adalah tashdiq bi al-qalb dan tashdiq bil-lisan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tashdiq bi al-qalb adalah menyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan rasul-rasul-Nya yang diutus beserta risalah yang dibawanya. Adapun yang dimaksud dengan tashdiq al-lisan adalah menyakini kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal.

BAB III
PENUTUP
Simpulan
1.      Iman artinya percaya. Adapun konsep iman ada 3:
a.       Tashdiq di dalam hati akan wujud Allah dan keberadaan nabi dan rasul Allah.
b.      Tashdiq di dalam hati dan diikrarkan dengan lidah.
c.       Tashdiq di dalam hati, ikrar dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan.

2.      Adapun pandangan aliran-aliran kalam tentang iman sebagai berikut:
a.       Khawarij: iman itu bukan pengakuan dalam hati dan ucapan dengan lisan saja, tetapi amal ibadah menjadi rukun iman pula.
b.      Mu’tazilah: iman bukan hanya oleh pengakuan dan ucapan lisan, tetapi juga oleh perbuatan-perbuatan.
c.       Murji’ah: iman adalah tashdiq secara kalbu saja, atau ma’rifah (mengetahui) Allah dengan Qalbu, bukan dengan demonstrasi, baik dengan ucapan maupun tindakan.
d.      Asy’ariyah: mengedentifikasikan iman berbeda-beda. Dalam Muqalat dan Al-Ibanah disebutkan iman adalah qawl dan amal dan dapat bertambah dan berkurang. Dalam Al-Luma, iman diartikannya sebagai tashdiq bi Allah.
e.       Maturidiyah Samarkand: iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata ikrar bi al-lisan.



Daftar Pustaka
Barmawi, Bakir Yusuf, Konsep Iman dan Kufur dalam Teologi Islam, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987.
Ahmad, Muhammad, Tauhid Ilmu Kalam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998.
Rifa’I, Moh dan RS. Abdul Aziz, Pelajaran Ilmu Kalam, Semarang: CV. Wicaksana, 1994.
Anwar, Rosihan dkk, Ilmu Kalam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001.
Kata Pengantar: Prof. Dr. Harun Nasution, MA. Editor: Drs. M. Amin Nurdin, MA dan Drs. Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran dalam Islam, Jakarta: PT. Pustaka Utama, 1998.



[1] Bakir Yusuf Barmawi, Konsep Iman dan Kufur dalam Teologi Islam, PT. Bina Ilmu. 1987. Hal: 2-5
[2] Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, CV. Pustaka Setia. 1998. Hal: 19-20
[3] Moh. Rifa’I dan Rs. Abdul Aziz, Pelajaran Ilmu Kalam, CV. Wicaksana, Semarang, 1994. Hal: 78
[4] Kata Pengantar: Prof. Dr. Harun Nasution, MA. Editor: Drs. M. Amin Nurdin, MA dan Drs. Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran dalam Islam, PT. Pustaka Utama, Jakarta: 1998, Hal: 107-108
[5] Moh. Rifa’I dan Rs. Abdul Aziz, Pelajaran Ilmu Kalam, CV. Wicaksana, Semarang, 1994. Hal: 79
[6] Bakir Yusuf Barmawi, Konsep Iman dan Kufur dalam Teologi Islam, PT. Bina Ilmu. 1987. Hal: 16-19
[7] Rosihan Anwar, dkk, Ilmu Kalam, CV. Pustaka Setia Bandung, 2001. Hal: 144-150